Tarot



Matahari pagi mulai menyentuh jendela yang masih tertutup rapat, namun biasan sinarnya menembus kedalam mimpi hingga membangunkan tidur ku saat itu. Ketika mata mulai terbuka, kejadian malam tadi selalu melintas dalam fikiran ku.
Iya, malam tadi aku dan teman-teman membutuhkan udara segar untuk sedikit meringankan sesaknya rutinitas, di salah satu cafe ternama di kawasan jogjakarta, masih dengan sentilan guyonan yang menghangatkan berbagi keluh kesah, mengukir tawa, suasana seketika berubah setelah kehadiran teman kami Hamim, lelaki separuh baya dengan tinggi 163cm dan tubuh yang sedikit gembil datang menuju meja dimana kami asik mengumbar tawa. Suasana yang semula penuh dengan tawa perlahan menjadi sedikit serius ketika Hamim mengeluarkan satu buah slot kartu tarot, dan mulai mrmainkannya, dimulai dari Idzan yang memiliki postur tubuh tidak jauh berbeda dengan Hamim tapi kali ini tuhan memberikan nilai lebih sebagai lelaki yang banyak digilai wanita tapi tidak untuk kami, tiga wanita yang selalu mendegarkan kisah cintanya. Pertanyaan klasik seputar cinta, karir, jodoh dan hal yang umum ditanyakan. Lalu tarot itu bergulir lagi, kali ini Risqa yang mendapatkan kesempatan lebih dulu diantara tiga wanita yang ada saat itu, wanita berkulit putih dan memiliki postur tubuh yang terbilang berada dibawah berat idealnya, pertanyaan kali ini masih sama klasiknya hanya saja disisipi dengan satu harapan. "Kira-kira kapan nikahnya itu mas" spontan tanya kami pada Hamim, dan tanpa butuh waktu lama dengan tegas Hamim menjawab " kalo untuk tahun ini sih belum bisa, tapi kalo tahun depan bisa kok ini". Wajah Risqa yang semula harap-harap cemas seketika wajahnya kemerahan, malu tapi senang dengan jawaban Hamim, tapi tak berapa lama Hamim kembali berkata " asalkan kamu berhenti untuk menunggu masa lalu, dia nggak baik buat kamu percuma juga ditunggu, mending yang sekarang ini dipertahanin", tapi perkataan itu tidak sedikitpun merubah raut wajah bagia itu.
Lalu tarot itu berpindah pada Ratna, wanita kelahiran 1995 dengan postur tubuh yang tinggi ini sudah menikah dan mempunyai satu bidadari kecil dalam rumah tangganya, pertanyaan seputar keluarga dan mengenai orang tuanya membuat kami lebih mengenal siapa dia sebenarnya, waktu berjalan cukup lama karena saat itu Ratna memilikk segudang pertanyaan di dalam otaknya yang entah terbuat dari apa, jam ditanganku menunjukan pukul 23.40 , dan tarot itu sampai pada ku, waktu yang tepat untuk ku saat itu karena hati dan pikiran ku kala itu sedang tidak bersahabat, dan tanpa basa basi akupun menyakan hal yang bisa dibilang terlalu to the point, " kapan move on mas?" Mereka bertiga yang semula sibuk dengan gadgetnya seketika mata itu menuju pada ku," dua bulan lagi, move on mu karena orang baru, akan ada orang baru yang datang dalam hidup kamu. Dan sekarang berhenti mengharapkan yang sudah lalu, dia udah bahagia, jangan lagi menanamkan harapan kamu untuk memiliki dia lagi karena diapun nggak baik buat kamu" Hamim menjawab tanpa ragu, aku yang semula lemah untuk membangun bebteng hati ini seketika dikuatkan untuk membangunnya semakin tinggi. Waktu menunjukan pukul 00.10 kami yang serasa cukup dengan tarot pun mulai beranjak pulang, tapi seiring pulangnya kami ke rumah, kata-kata itu masih selalu terngiang di telinga, khususnya aku, seolah membangkitkan harap akan hadirnya orang baru itu, dan setibanya dirumah pun kata-kata Hamim saat itu seolah menjadi penyemangat dan penguat untuk saat itu.
Ketika bangun di pagi ini pun kata- kata itu masih selalu membuatku tersenyum bahagia. Hari berjalan seperti biasanya, kembali bertemu mereka di tempat kerja, dan kejadian malam itu seolah menjadi lem perkat antara kita di tempat kerja, semakin memahami satu sama lain, dan nenjadi tempat berbagi. Ketika pikiran akan kebaikan di masa lalu itu datang benteng yang ku bangun mampu menangkisnya kareba benteng ku sudah kian kokoh kian tinggi. Tapi beberapa hari setelah itu, disaat proses meninggikan benteng justru kenapa hati ini makin lama semakin terasa sakit karena aku harus melawan diri sendiri, tak jarang lelah dan ingin menyerah itu datang.  Aku perlahan juga mulai memahami keadaan hati saat itu tidak ambil pusing dengan rasa yang entah bagaimana tapi sekali lagi tarot itu mengubah segalanya hingga dipenuhi auran bahagia tak henti, yang jelas trimakasih Hamin karena telah memupukan rasa bahagia dihari itu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka Untukmu

Siapa Aku?

Sajak Lalu