Postingan

Untukmu

Hai cantik, apa kabarmu pagi ini? Lagi - lagi sembab kelopak matamu, kamu tidak bisa tidur lagi semalam? Tubuhmu terlihat mengecil, apakah ada yang mengganggu fikir mu? Tunggu, sepertinya aku tau, kamu memikirkan dia lagi? Sayang, sampai kapan menyiksa diri mu sendiri demi dia yang tak pernah memikirkan mu sedikitpun?  Untuk apa menangisi dia yang bahkan tak pernah meneteskan air mata untukmu sedikitpun? Kamu rindu? Aku tau kamu rindu, aku pun tau rasanya memendam rindu pada dia yang sudah bukan menjadi hak mu. Coba sekarang pikir, bagaimana sakitnya ketika kekasih mu dirindukan oleh mantan kekasihnya, kamu rela? Pasti tidak kan, ingat, dia sudah memiliki nyaman baru, jangan lagi kamu usik dengan rindu mu yang terus meletup - letup di dalam dada hingga menimbulkan suara yang membuat bising di kepala. Kamu masih seperti ini, sedangkan dia sudah berhasil tertawa dengan yang dia sebut bahagia. Aku tau kamu pun sakit, beberapa bahkan mencoba untuk mengetuk pintu mu, kamu pun sebenarnya ing

Sekumpulan Ego

Aku adalah manusia yang tercipta dari sekumpulan ego, hingga akhirnya ku menjadi manusia yang penuh ego, penuh dengan air mata, dengan tawa bahagia yang lepas, dengan rasa rindu yang menggebu, dengan amarah yang membara. Kadang ego ku membawaku pada kesalahan yang sama, membuatku tak bisa mengerti akan mau dunia, ego ku kadang selalu menjadi juara di bandingkan dengan akal sehat ku, tapi tenang, itu tak bertahan lama, waluapun ku perlu sekuat hati untuk mematahkannya, tak jarang aku berhasil, tapi tak jarah pula ku di kalahkannya lagi. Namun terkadang ego ku juga membawa ku selangkah lebih maju bahkan jauh lebih ke depan, walaupun tak bisa di sandingkan dengan barisan para peneduh ego itu tapi setidaknya ku berada sedikit di belakang mereka, ego ku membawa ku untuk selalu mempertahankan kita dari angin-angin yang menggoyangkan pohon berduri yang tanpa sadar durinya menggoreskan ke lengan kita, menurutku tak apa selagi bukan hati yang di buat luka, aku tidak bisa untuk membiarkan kita d

Kita Abu-Abu

Gambar
Pagi itu, disudut kota ini, kesibukan yang sudah menjadi rutinitas mulai menggeliat, sedangkan aku masih berada di suatu kehidupan yang jauh dari keramaian, dari bisingnya pagi itu. Pagi yang selalu diharapkan menjadi benih dari kesenangan hari itu, impian yang sudah dirajut pada malam hari nya mebuat rindu yang berdebar makin hebat yang menghasilkan simposium rindu yang disematkan pada kening dan penantian - penantian yang entah sampai kapan, ketika menunggu menjadi hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan setiap menitnya. Namun, ketika satu kata mulai berdengung hebat didalam telinga, bayangan nyata akan kepergian semakin nampak jelas terlihat. Aku adalah satu dari sekian ratus ribu manusia di bumi yang sangat membenci kepergian, kata "selamat tinggal" menjadi bumerang dalam dada ketika hati ingin bertahan namun logika mengatakan "jangan, kamu harus pergi, bukankah hatimu lelah?" apa yang diperjuangkan sejauh ini harusnya sudah mulai ku tuai, apakah selam

Surat Terbuka Untukmu

Apa kabar kamu sayang, lama tak ada kabar, lama tidak menumpahkan keluh kesah. Mungkin benar hubungan jarak jauh tidak lah mudah, ketika kita beradu pendapat dan berakhir dengan saling diam kita tidak bisa berbuat banyak, hanya bisa menunggu. Ketika salah satu dari kita hilang kabar, pun tidak banyak yang bisa kita lakukan, segala upaya sudah coba ditempuh, namun jika menemukan jalan buntu aku akan berputar balik dan akan tetap aku tunggu seperti sebelumnya, di tepi jalan itu, dengan perasaan yang masih sama, tidak ada yang berubah. Sayang saat kamu jauh mungkin aku terlihat sedang mempermainkanmu, dengan sering menghabiskan waktu bersama mereka teman-teman lelaki ku, tapi percayalah mereka hanya temanku, tidak melebihi rasa ini untukmu. Terdengar berlebihan, namun seperti ini lah adanya, ketika sudah terpaut ikatan komitmen akupun tak ingin bermain api, akan ku selesaikan dan ku padamkan api yang sudah ku nyalakan hingga menyulut diam mu tanpa kabar. Sayang ketika kamu jauh aku dike

Langkah Nanti

Melangkah pergi, menjauh, saat ini yang sedang berusaha kulakukan, bukan karna tak sayang, bukan karna aku menyerah, tapi karna hanya ingi kau menyadari bahwa sejauh ini kamu hanya asyik berlari sendiri, kamu mengabaikanku, aku yang berusaha menyamakan langkah kaki kita, namun ternyata langkahmu terlalu besar hingga aku akhirnya tertinggal. Mencoba kembali membangun rumah baru, mengulang semua proses yang amat melelahkan dan membosankan, kamu membantu ku mendirikan rumah itu, tapi ternyata kamu masih memiliki rumah yang masih kamu singgahi, bagaimana mungkin kamu bisa menetap di rumah kita sementara rumah lama mu masih kokoh berdiri di ujung jalan itu? Bagaimana mungkin kamu memiliki hati ku sedangkan di hati mu masih tersimpan masa lalu mu. Berulang kali ku lantunkan aksara rindu pada langit, walaupun kita belum berada pada atap yang sama setidaknya kita dapat memandang langit yang sama, entah aku yang terlalu tinggi mengharapkan mu atau kamu yang terlalu tinggi memberiku harap?

Bangunlah

Hujan malam ini kembali menyadarkan ku betapa jahatnya aku, membenci setiap detak waktu yang berlalu, mengabaikan sekelilingku, membuatku berputar pada lingkaran waktu yang membelenggu, lelahku memahami setiap suara yang selalu ingin didengarkan, sudahlah ini bukan waktunya untuk berdrama kisah keluarga bahagia yang tinggal di tengah desa penuh dedaunan hijau dan rumput hijau yang membentang, kepulan asap khas dapur pedesaan dengan harumnya hidangan sarapan pagi. Bangunlah, letakkan dirimu pada kenyataan, biarkan dirimu ditempa udara perkotaan dan angin malam yang keras menusuk tulang rusuk hingga lebam membekas hanya demi sesuap nasi. Lihat mereka yang bekerja lebih keras darimu tanpa pernah diberi jeda menghela nafas panjang untuk mengeluhkan betapa lelahnya hidup. Bukan aku tak mau tau, bukan aku tak menghiraukan orang lain, aku hanya penat dengan keluh kesah tanpa dasar, jika kamu merasakan lelah lalu apa yang orang lain rasakan? Cobalah mengerti orang lain jika ingin di mengerti,

Siapa Aku?

Apa sebenarnya yang terjadi? Kamu, seperti pusaran air bagiku, disaat aku mencoba untuk keluar kamu selalu bisa menarik ku. Kamu bagaikan lumpur hisap, semakin aku berusaha keras untuk keluar aku semakin tenggelam. Aku kehabisan nafas, aku kehabisan akal, dan aku bahkan kehilangan akal sehat, aku tidak tau harus berbuat apa, aku hanya bisa diam menyaksikan sekitar ku hidup, bergerak tiap detiknya. Diam, saat ini hanya itu yang mampu aku lakukan, bahkan aku mencoba menenggelamkan diri pada mu, semakin ku coba tenggelam tapi malah semakin ku terangkat ke permukaan. Lalu aku harus berbuat apa untuk memahamimu? Aku harus menjadi seperti apa agar bisa menyusuri setiap lorong mu? Ibu ku mengajari ku berdiri bukan untuk terus menerus di jatuhkan, bumi belahan mana yang sebenarnya kamu pijak? Boleh kah aku memilih untuk tidak mencintaimu? Aku lelah dengan semua fikiran tentangmu, mungkinkah menguburmu dalam putaran waktu dapat membawa semuanya kembali seperti sedia kala? Aku tidak menyesal m