Kita Abu-Abu

Pagi itu, disudut kota ini, kesibukan yang sudah menjadi rutinitas mulai menggeliat, sedangkan aku masih berada di suatu kehidupan yang jauh dari keramaian, dari bisingnya pagi itu. Pagi yang selalu diharapkan menjadi benih dari kesenangan hari itu, impian yang sudah dirajut pada malam hari nya mebuat rindu yang berdebar makin hebat yang menghasilkan simposium rindu yang disematkan pada kening dan penantian - penantian yang entah sampai kapan, ketika menunggu menjadi hal yang paling menyenangkan untuk dilakukan setiap menitnya.
Namun, ketika satu kata mulai berdengung hebat didalam telinga, bayangan nyata akan kepergian semakin nampak jelas terlihat. Aku adalah satu dari sekian ratus ribu manusia di bumi yang sangat membenci kepergian, kata "selamat tinggal" menjadi bumerang dalam dada ketika hati ingin bertahan namun logika mengatakan "jangan, kamu harus pergi, bukankah hatimu lelah?" apa yang diperjuangkan sejauh ini harusnya sudah mulai ku tuai, apakah selama ini aku menanam ditempat yang salah? Ataukah aku tidak merawatnya dengan baik? Ataukah aku sang penikmat sepi paling angkuh akan egoku sendiri?
Apa yang salah dengan semua ini? Mengapa seketika kita berjalan keluar? Ku ciptakan mesin waktu dimana masih ada kita didalamnya, tertawa bersama. Agar ketika ego kita teramat tinggi dan saling lupa, kita dapat melihat kita saat angkuh memperjuangkan, angkuh mempertahankan. Mungkin kita sedang berada di titik nadi paling lemah, ataupun mungkin kamu yang lupa pada kita, harapan yang kita bangun bersama. Rumah ini, yang telah kita bangun, sedang mengalami hujan badai, menciptakan kerusakan di setiap sudutnya, apakah kamu berencana memperbaikinya ataukah kau akan tinggalkan rumah ini begitu saja bersama aku di dalamnya?
Aku tidak pandai memahami cuaca, aku tidak pandai menyelami hatimu, aku hanya ingin menjaga kita. Bisa saja aku meninggalkan kita dan memilih banyak mereka, namun aku memilih untuk tidak. Aku ingin selalu menggenggammu, tidak terlalu erat namun jangan sampai lepas. Aku ingin rasa ini selalu menyala, tidak terlalu terang tapi jangan sampai padam. Entah itu bertahan ataupun pergi semua harus ditempuh dengan hati yang tegar, kepala yang terangkat dan langkah tegap tanpa ragu.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Surat Terbuka Untukmu

Siapa Aku?

Sajak Lalu